BANDA ACEH – Masalah stunting merupakan salah satu isu penting dalam dunia kesehatan anak-anak yang masih menjadi perhatian besar, khususnya anak-anak di negara terbelakang dan negara berkembang. Stunting sendiri mengalami perubahan. Menurut WHO (2015), stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang, yang ditandai dengan panjang atau tinggi badannya berada di bawah standar.
Selanjutnya menurut WHO (2020) stunting adalah pendek atau sangat pendek berdasarkan panjang / tinggi badan menurut usia yang kurang dari -2 standar deviasi (SD) pada kurva pertumbuhan WHO yang terjadi dikarenakan kondisi irreversibel akibat asupan nutrisi yang tidak adekuat dan/atau infeksi berulang / kronis yang terjadi dalam 1000 HPK.
Terkait dengan pencegahan stunting ini, salah satunya dengan protein hewani yang kaya dengan zat besi karena, Zat besi penting untuk menunjang tumbuh kembang anak yang optimal.
Hal tersebut disampaikan, Kepala Dinas kesehatan Aceh, dr. Munawar, Sp. OG (K) kepada media hariandaerah.com, Senin (18/12/2023).
“Zat besi menjadi salah satu elemen kunci dalam optimalisasi masa 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), termasuk untuk pencegahan stunting. Ini tidak dapat dilepaskan dari perannya yang begitu krusial dalam tubuh,” kata Munawar.
Munawar menyebutkan, zat besi adalah komponen penting dari hemoglobin (bagian dari sel darah merah yang membawa oksigen dari paru-paru ke tubuh). Mineral ini memberi hemoglobin kekuatan untuk menyalurkan oksigen dalam darah, sehingga oksigen dapat dibawa ke seluruh bagian tubuh yang membutuhkan.
“Tanpa zat besi yang cukup, tubuh tidak dapat membuat hemoglobin dan sel darah merah sehingga jaringan dan organ-organ di tubuh tidak akan mendapatkan cukup oksigen. Ini yang membuat kekurangan zat besi sangat berbahaya, salah satunya karena bisa menurunkan sistem kekebalan tubuh dan membuat anak jadi sering sakit-sakitan. Anak yang sering sakit, tumbuh kembangnya tidak akan optimal sehingga ia berisiko mengalami gagal tumbuh, seperti stunting,” ujarnya.
Ditempat terpisah, Kepala Seksi Kesehatan Keluarga (Kesga) dan Gizi Dinas Kesehatan Aceh, dr. Dara Juliana., M.Kes mengatakan, zat besi merupakan salah satu mineral yang berperan penting dalam pembentukan hemoglobin. Hemoglobin merupakan protein yang bertugas sebagai pengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh.
Selain itu juga kata Dara, zat besi berfungsi untuk membantu menjalankan berbagai fungsi tubuh, seperti metabolisme energi, sistem kekebalan tubuh, proses pencernaan, kinerja otak, dan mengatur suhu tubuh. Jadi, apabila kekurangan zat besi atau Anemia Defisiensi Besi (ADB) yang merupakan penyebab anemia (kekurangan sel darah merah) terbanyak pada anak-anak,
“Hal ini tentu bisa menghambat tumbuh kembangnya. Apabila anemia terjadi pada anak di bawah usia dua tahun, dapat berakibat fatal terhadap perkembangan keterampilan motorik dan sensoriknya. Alhasil, anak menjadi lebih lambat dalam merespons, gampang rewel, dan sulit mengendalikan diri,” kata Dara saat dijumapai awak media hariadaerah.com usai penutupan kegiatan pertemuan evaluasi program kesga dan gizi TK Provinsi ke-2 Dinkes Aceh yang berlangsung di Ayani Hotel, Senin (11 /12/2023).
Kemudian salah satu penyebab terjadinya stunting adalah defisiensi asupan zat besi. Zat besi salah satu kunci penting dalam optimalisasi masa 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), termasuk untuk pencegahan stunting, salah satunya didapatkan dari konsumsi protein hewani.
“Penting untuk diketahui bahwa kebutuhan zat besi pada anak per hari. Tujuannya agar orang tua bisa memberikan makanan ataupun suplemen zat besi sesuai dengan kebutuhan anak, tidak kekurangan dan juga kelebihan,” ucapnya.
Sementara untuk kebutuhan zat besi pada anak akan berbeda-beda setiap usianya. Jika dilihat dalam tabel Angka Kecukupan Gizi (AKG) tahun 2019 yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan, kebutuhan zat besi bayi sesuai usia yakni: 0-5 bulan adalah sebesar 0,3 mg per hari, 6-11 bulan sebesar 11 mg per hari, dan 1-3 tahun sebesar 7 mg per hari.
“Ibu dapat memenuhi kebutuhan zat besi bayi dengan memberikan ASI eksklusif dan makanan pendamping ASI (MPASI) bergizi yang kaya zat besi,” ucap Dara.
Ada dua jenis zat besi yang bisa diberikan kepada si kecil, yakni zat besi heme (hewani) dan non-heme (sayuran atau nabati). Untuk anak yang masih dalam masa pertumbuhan, zat besi heme lebih disarankan.
Secara biologis, zat besi dari pangan hewani lebih mudah diserap oleh tubuh dibandingkan zat besi dari pangan nabati. Beberapa contoh sumber zat besi dari pangan hewani antara lain: hati ayam, hati sapi, daging merah, ikan, udang segar, dan telur.
“Namun bukan berarti anak tidak boleh mendapatkan zat besi dari pangan nabati. Intinya harus seimbang. Beberapa makanan yang mengandung zat besi non-heme contohnya tempe, tahu, sayuran hijau, dan kacang-kacangan,” jelas Dara.
Lebih lanjut, kata Dara, anemia pada ibu hamil dan remaja putri juga menyebabkan anak nantinya lahir dengan risiko stunting. Untuk itu, Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan Provinsi melakukan intervensi spesifik dengan memberikan Tablet Tambah Darah (TTD) pada remaja putri dan ibu hamil.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, prevalensi anemia pada remaja sebesar 32 persen, artinya 3-4 dari 10 remaja menderita anemia. Bahkan, data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan bahwa prevalensi anemia pada remaja putri (usia 10-19 tahun) sebesar 30 persen.
“Remaja putri yang menderita anemia ketika menjadi ibu hamil berisiko melahirkan Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) dan stunting,” kata Dara.
Dalam kesempatan tersebut, Dara juga menjelaskan asupan total zat besi pada anak perempuan usia 10–12 tahun yang menderita anemia hanya sebesar 5,4 mg/hari, lebih rendah daripada kebutuhan per hari sebesar 20 mg/hari sesuai dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2013.
“Maka dari itu, kami sudah mulai menggalakkan pemberian TTD pada siswa SMP dan SMA, khususnya perempuan, agar jangan sampai terkena anemia,” pungkas Dara.