Oleh: Harjoni Desky
Jaba tan : Dosen IAIN Lhokseumawe
Kebijakan anggaran di lingkungan kampus semakin menunjukkan kecenderungan yang mengabaikan kesejahteraan dosen dan mahasiswa. Fakta terbaru yang diungkap oleh media online Lintas Gayo mengungkap situasi memprihatinkan: 27 tenaga pendidik di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Takengon harus dirumahkan karena alasan klasik—tidak ada anggaran untuk membayar gaji. Ironisnya, di saat yang sama, pihak rektorat justru memilih untuk merental mobil dinas dengan nilai fantastis, mencapai Rp800 juta. Keputusan ini bukan hanya menimbulkan polemik, tetapi juga memperlihatkan bagaimana prioritas anggaran lebih berpihak kepada fasilitas pejabat dibandingkan kesejahteraan tenaga pengajar dan mahasiswa.
Fenomena yang Berulang
Kasus di IAIN Takengon bukanlah insiden tunggal. Beberapa kampus lain menunjukkan pola serupa, bahkan lebih ekstrem. Ada IAIN di Aceh yang tidak hanya merental mobil untuk rektor dan wakil rektor, tetapi juga untuk seluruh dekan. Ini bukan sekadar persoalan kebijakan anggaran yang keliru, melainkan juga mencerminkan moral dan hati nurani pemimpin kampus yang patut dipertanyakan. Bagaimana mungkin dalam kondisi anggaran terbatas, dana justru lebih diprioritaskan untuk fasilitas mewah pejabat ketimbang kesejahteraan tenaga pendidik dan mahasiswa? Keputusan ini mencerminkan pola pikir elitis yang bertentangan dengan semangat pendidikan dan tanggung jawab sosial.
Aturan yang Berpotensi Dilanggar
Fenomena ini mengindikasikan bahwa kebijakan anggaran di kampus-kampus negeri semakin menjauh dari nilai akademik dan prinsip pengelolaan keuangan yang bertanggung jawab. Jika dicermati, beberapa regulasi berpotensi dilanggar dalam praktik ini.
- Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah menegaskan bahwa keuangan harus dikelola secara tertib, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab. Kebijakan merental mobil dinas dengan biaya besar di tengah krisis anggaran justru bertentangan dengan prinsip ini.
- Peraturan Menteri Keuangan No. 119/PMK.06/2020 tentang Standar Barang dan Standar Kebutuhan Barang Milik Negara menyatakan bahwa pengadaan kendaraan dinas harus mempertimbangkan efisiensi dan urgensi kebutuhan, bukan sekadar mencari celah regulasi untuk mengalokasikan anggaran secara tidak bertanggung jawab.
- Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik mengamanatkan transparansi dalam pengelolaan anggaran. Jika penggunaan anggaran kampus tidak terbuka untuk diaudit oleh publik, maka ada indikasi bahwa praktik tersebut sarat dengan kepentingan segelintir elit kampus.
Dampak Buruk bagi Dunia Akademik
Keputusan yang lebih mengutamakan kepentingan pejabat kampus dibandingkan kesejahteraan dosen dan mahasiswa membawa dampak serius bagi dunia akademik. Pemutusan kontrak terhadap dosen honorer yang memiliki kontribusi besar dalam pembelajaran dan riset akan menurunkan kualitas pendidikan. Kampus yang kehilangan tenaga pengajarnya akan kesulitan menjaga standar akademik, dan pada akhirnya mahasiswa yang paling dirugikan.
Selain itu, mahasiswa yang telah membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) dengan harapan mendapatkan layanan pendidikan berkualitas justru harus menerima kenyataan bahwa dana yang mereka setor digunakan untuk kepentingan yang tidak berhubungan langsung dengan proses belajar-mengajar. Ini adalah bentuk ketidakadilan struktural, di mana mereka yang seharusnya menjadi prioritas justru menjadi korban kebijakan yang tidak berpihak.
Saatnya Berbenah
Kasus yang diberitakan oleh Lintas Gayo harus menjadi peringatan bagi seluruh IAIN lainnya. Jika praktik seperti ini terus berlanjut, tidak hanya mahasiswa dan dosen yang menjadi korban, tetapi juga kredibilitas perguruan tinggi Islam negeri secara keseluruhan akan terancam. Kementerian Agama tidak boleh tinggal diam. Diperlukan teguran keras kepada kampus-kampus yang tidak bertanggung jawab dalam mengelola anggaran. Lebih dari itu, pihak berwenang perlu menelusuri apakah ada unsur penyalahgunaan wewenang dalam kebijakan ini. Jika ditemukan penyimpangan, langkah hukum harus segera diambil agar kejadian serupa tidak terus berulang.
Yang paling dibutuhkan saat ini adalah transparansi anggaran yang lebih ketat dan evaluasi terhadap kebijakan yang merugikan civitas akademika. Kampus harus membuka laporan keuangan secara transparan kepada publik agar dosen dan mahasiswa dapat mengawasi bagaimana anggaran digunakan. Pimpinan kampus juga harus lebih bijak dalam mengelola anggaran, memastikan bahwa dana yang ada benar-benar dialokasikan untuk kebutuhan akademik, bukan untuk kepentingan fasilitas mewah pejabat. Selain itu, pemerintah sebagai regulator harus memperketat aturan mengenai pengelolaan anggaran kampus agar kejadian serupa tidak terulang.
Kampus seharusnya menjadi pusat intelektualitas yang menjunjung tinggi nilai keadilan, transparansi, dan tanggung jawab sosial. Ketika keputusan keuangan lebih mengutamakan kepentingan elit dibandingkan kesejahteraan tenaga pendidik dan mahasiswa, maka institusi akademik kehilangan marwahnya sebagai lembaga yang bertugas mencerdaskan kehidupan bangsa. Saatnya kita semua, sebagai bagian dari dunia akademik, mengawal kebijakan kampus agar tetap berpihak kepada mereka yang benar-benar membutuhkan: dosen dan mahasiswa.