Hariandaerah.com Jakarta – Perjuangan hukum Yayasan Trisakti tak kenal menyerah. Meski langit mau runtuh, hukum harus ditegakkan. Hasilnya, Yayasan Trisakti mampu memenangkan kasus penyerobotan yayasan oleh Kemendikbudristek hingga ke tingkat kasasi Mahkamah Agung yang sudah final dan mengikat. Tak ada upaya hukum lagi yang bisa dilakukan oleh gerombolan pengurus yayasan dadakan. Putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2023 menyatakan pejabat pemerintah dilarang melakukan Peninjauan Kembali atas kekalahan kasasi yang mereka ajukan. Oleh karenanya mereka tidak boleh bercokol di kantor Yayasan Trisaksti dan harus hengkang secepatnya.
Demikian point of view yang disampaikan Ketua Pembina Yayasan Trisakti Prof Dr Anak Agung Gde Agung kepada sejumlah wartawan di Jakarta, Minggu (22/09/2024).
“Dengan putusan MA yang menolak kasasi Kemendikbudristek seharusnya mereka taat hukum dan sadar diri untuk segera keluar dari Universitas Trisakti serta memulihkan nama baik kami, sehingga kami bisa melakukan aktivitas seperti biasa,” papa Anak Agung.
Anehnya lanjut Anak Agung, mereka tetap bergeming dan melakukan aktivitas layaknya sebuah kegiatan yang normal. Padahal, tidak normal dan landasan hukum mereka untuk beraktivitas telah ditolak Mahkamah Agung.
Rupanya mereka berbekal Akta No 03 tahun 2023 Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) untuk memblokir Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) Yayasan Trisakti.
Dengan bermodal Akta ini kata Anak Agung, mereka leluasa merampok keuangan Yayasan Trisakti di siang bolong hingga membuat aktivitas yayasan lumpuh.
“Inilah kesewenang-wenangan yang sangat nyata. Mereka membuat hukum di bawah undang undang, di mana hal itu sangat dilarang,” kata penasihat hukum Yayasan Trisakti, Nugraha Bratakusumah.
Nugraha menegaskan bahwa Akta yang mereka buat merupakan hasil membuldozer Akta sebelumnya yang dimiliki oleh Prof Dr Anak Agung yakni Akta Dirjen AHU No 22 tahun 2005.
“Tiba-tiba tanpa sepengetahuan pengurus yayasan, Kepmen No 330/P/2022 itu dijadikan dasar untuk mengubah Akta No 22 tahun 2005 menjadi Akta nomor 03 tahun 2023. Aktanya Prof Anak Agung tiba tiba diubah menjadi akta versi mereka,” papar Nugraha.
Saat ini lanjut Nugraha, Dirjen AHU Kemenkumham dijabat oleh Cahyo Rahadian Muzhar, S.H., LL.M., yang juga duduk sebagai anggota Pembina Yayasan Trisakti Dadakan versi Kemendikbudristek.
“Pertanyaannya kok Dirjen AHU bisa membuat regulasi yang didasarkan pada keputusan menteri yang salah. Cahyo adalah Pembina Yayasan Trisaksti versi pemerintah. Dia mengajukan perubahan untuk atas nama sendiri. Ini kan aneh. Ketika MA sudah mengeluarkan putusan, seharusnya Cahyo membatalkan akta yang dia bikin juga. Cahyo adalah pejabat negara Eselon Satu, seharusnya taat hukum mencabut akta tersebut,” tegas Nugraha.
*Kapan Pemerintah Berhenti Berbuat Zalim?*
Anak Agung mempertanyakan kepada pemerintah kapan mereka keluar dari Trisakti setelah seluruh proses hukum ditempuh dan Yayasan Trisakti di pihak yang menang.
Mantan Menteri Sosial era Presiden Abdurrahman Wahid itu lantas menceritakan perjalanan kasus penyerobotan Yayasan Trisakti yang disebutnya aneh dan penuh manipulasi. Pemerintah tidak henti-hentinya mengobok-obok Trisakti melakukan berbagai rentetan usaha untuk mengambilalih Yayasan.
Puncak tragedi terjadi ketika Mendikbudristek, Nadiem Makariem mengeluarkan SK Menteri Nomor 330/P/2022, pada 24 Agustus 2022. Landasan hukum ini dipakai Kemendikbudristek untuk merampok Yayasan Trisakti dengan mengangkat nama-nama pejabat tinggi negara yang didapuk menjadi pengurus Yayasan Trisakti Dadakan yang berjumlah 13 orang.
Surat Keputusan Menteri ini menurut Anak Agung melanggar Anggaran Dasar Yayasan Trisakti tahun 2005 Pasal 10 ayat 4 dan Undang-undang RI No. 16 Tahun 2001 jo. Undang-undang RI No. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan pasal 28 ayat 3 yang menyatakan bahwa yang dapat diangkat menjadi anggota pembina adalah orang perseorangan berdasarkan keputusan rapat anggota pembina. Tak hanya itu, para pembina dadakan itu jelas tidak tahu sejarah perjalanan Yayasan Trisakti.
Anak Agung tidak tinggal diam. Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) tersebut kemudian digugat oleh pengurus Yayasan Trisakti Asli Prof. Dr.Anak Agung Gde Agung ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Pengadilan mengabulkan gugatan para penggugat dan menyatakan Yayasan Trisakti Dadakan dianggap tidak sah. Pengadilan juga memerintahkan Kemendikbudristek harus mengembalikan Yayasan Trisakti kepada pengurus asli. Tidak hanya itu, Kemendikbudristek juga wajib memulihkan nama baik pengurus yayasan asli.
Tak percaya dengan putusan PTUN, pihak Kemendikbudristek kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN). Di tingkat banding, PT TUN menolak gugatan Kemendikbudristek, artinya Yayasan Trisakti Dadakan tak punya kekuatan hukum sama sekali dalam melakukan aktivitasnya. Mereka harus membubarkan diri dan mengembalikannya kepada pengurus yang lama. Menguatkan putusan di tingkat pertama, pengadilan juga memerintahkan Kemendikbudristek harus memulihkan nama baik pengurus Yayasan Trisakti yang telah dirampoknya.
Tak mau menaati hukum, pihak Kemendikbudristek menunjukkan pembangkangannya dengan tidak mengindahkan putusan PTTUN, justru mengajukan gugatan kasasi ke Mahkamah Agung.
Lagi lagi Kemendikbudristek harus gigit jari. Kasasi mereka ditolak Mahkamah Agung. Putusan kasasi ditetapkan pada Senin, 12 Agustus 2024 dengan nomor perkara 292/K/TUN/2024, Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan oleh Mendikbudristek dan Cahyo Rahardian Muzhar, dkk., menetapkan dua putusan pengadilan di bawahnya, yakni PTUN dan PTTUN. Kemendikbudristek harus hengkang dari kantor Yayasan Trisakti karena tak punya landasan hukum.
Apa yang terjadi? Sampai hari ini mereka masih bercokol di kantor Yayasan Trisakti yang sudah berdiri sejak tahun 1966. “Inilah tindakan sewenang-wenang dan menyalahi segala perundang-undangan yang berlaku terhadap yayasan yang telah mengabdi lebih dari 5 dasa warsa,” kata Anak Agung.
Narasi PTNBH menurut Anak Agung hanya untuk mempengaruhi persepsi publik tentang status perguruan tinggi negeri. Padahal kampus Universitas Trisaksti adalah kampus swasta yang tidak bisa begitu saja diubah ke PTNBH.
Mereka kata Anak Agung ingin menciptakan stigma kampus negeri yang terkesan murah di Universitas Trisakti. Padahal maksudnya adalah PTNBH yang artinya pengelola kampus harus menghidupi sendiri keuangannya.
“Sungguh ironis, kampus Universitas Trisakti selama ini berstatus swasta yang cukup berkualitas. Tiba-tiba beberapa orang ambisius ingin menguasai Trisakti. Iming-imingnya berubah ke perguruan tinggi negeri. Padahal setelah itu, diubah lagi statusnya ke PTNBH. Ini kan akal-akalan. PTNBH itu maksudnya suruh cari duit sendiri,” tegasnya.
Jadi, lanjut Anak Agung, motif mereka sudah jelas bahwa mereka ingin mengkomersialkan Universitas Trisakti atas nama PTNBH.
*Status PTNBH Lebih Mahal*
Penetapan bentuk pengelolaan PTNBH diamanatkan melalui UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi. Sampai saat ini baru ada 22 perguruan tinggi negeri yang berubah status dari PTN menjadi PTNBH.
Praktisi pendidikan Profesor Doktor Ketut Surajaya menyatakan dari 22 Perguruan Tinggi Negeri yang diubah statusnya menjadi PTN BH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum), semua mengalami masalah mahalnya biaya UKT. Dari jumlah itu para mahasiswa rata-rata menyatakan biaya UKT sangat tinggi, bahkan ada mahasiswa S3 yang putus tengah jalan karena tak mampu membayar biaya kuliah.
“Bisa dikatakan PTN BH justru memberatkan mahasiswa,” katanya dalam sebuah diskusi bersama Hersubeno Arief, wartawan senior FNN di Jakarta, Senin (9/9/2024).
Sementara penasihat hukum Yayasan Trisakti, Nugraha Bratakusumah menegaskan bahwa UU Nomor 12 tahun 2012 adalah undang-undang tentang perguruan tinggi negeri bukan perguruan tinggi swasta. Nugraha mempertanyakan mengapa Kemendikbudristek menyasar Universitas Trisakti yang sudah sangat mandiri dan tidak memerlukan bantuan pemerintah.
Nugraha mencium ada gelagat kurang baik dari Kemendikbudristek bahwa status Universitas Trisakti akan diubah dulu ke perguruan tinggi negeri untuk kemudian di-PTNBH-kan. “Ini namanya rekayasa hukum,” paparnya.
Menurut Nugraha, persoalan antara Yayasan Trisakti dengan Kemendikbud sesungguhnya sudah bisa selesai dengan ditolaknya kasasi mereka. Namun ia mempertanyakan kenapa melebar ke persoalan PTNBH.
“Bukankah sebaiknya selesaikan saja persoalan yang sudah incracht. Mengapa harus mengutak-atik Yayasan Trisakti untuk dijadikan PTNBH? Fokus saja pada persoalan yang proporsional,” pungkas Nugraha. (sws).