Oleh : Dr. Fuadi S.H, M.H
Dosen Fakultas Hukum Universitas Samudra
1. Hasil Keputusan dari PTTUN Medan nomor Perkara 15/G/PILKADA/2024/PTTUN.MDN tanggal 29 oktober 2024, wajib dijalankan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang Pasal 154 ayat (11) KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (6) atau putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari.
2. Mengenai Undang-Undang Nomor Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang Pasal 154 ayat (12) KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara atau putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia mengenai keputusan tentang penetapan pasangan calon peserta Pemilihan sepanjang tidak melewati tahapan paling lambat 30 (tiga puluh) Hari sebelum hari pemungutan suara.
Berdasarkan Pasal diatas penjelasan tersebut hanya masalah teknis sehingga tidak berkaitan dengan Keputusan PTTUN yang sudah mengadili perkara tersebut sehingga mengharuskan KIP menjalankan Keputusan tersebut demi terselenggaranya Pilkada sebagai wujud pemerintah yang baik.
3. Bahwa berdasarkan pendapat “Di situ disebutkan bahwa KIP atau KPU berkewajiban untuk melaksanakan putusan. Tetapi dari konstruksi pasal 154 ayat 12 ini, pembentuk undang-undang di situ menentukan kewajiban pelaksanaan dan penyelenggaraan dibatasi sepanjang sebelum 30 hari pemungutan suara,” kata Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan KIP Aceh, Ahmad Mirza Safwandi, Artikel ini telah tayang di media cetak nasional dengan judul KIP Aceh : Putusan PTTUN Terlambat, Hamdan Sati-Febriadi Tak Bisa Jadi Peserta Pilkada berita online dan surat kabar lainnya, hal ini menjadi problem sendiri dalam penyelenggaraan KIP Aceh Tamiang, yang hanya melihat hukum dari kacamata kuda.
Menurut pendapat saya yang disampaikan oleh ketua divisi hukum dan pengawasan KIP aceh adalah keliru. Dalam cara mencermati dan menafsirkan Isi Pasal tersebut. Penjelasan Pasal tersebut hanya mengenai teknis dalam penyelenggaraannya.
Dalam hukum tata negara untuk menafsirkan harus Kembali kepada asas yaitu Asas ius curia novit yaitu hakim dianggap mengetahui dan memahami segala hukum, maka tersirat makna pengadilan dilarang untuk menolak, memeriksa, dan mengadili sebuah perkara memberikan beberapa pandangan yang berbeda, yang berarti bahwa apabila hal ini dianggap bertentangan dengan Pasal 154 ayat (12) UU No. 10 Tahun 2016.
Maka hakim menolak perkara tersebut, karena hakim memahami hukum dengan cermat, yang berdasarkan putusan hakim sebagai salah satu Dasar hukum yang di Maklumatkan dalam prinsip hukum Indonesia, maka setiap putusan hakim merupakan Undang-Undang yang harus dijalankan dan berkekuatan hukum tetap.
Sebagai warga negara yang baik, dengan tetap taat kepada hukum sebagaimana negara kita yang menganut negara Rechs Staath. Karena gugatan yang dilakukan oleh penggugat mengenai beschikking (keputusan tertulis dari administrasi negara yang mempunyai akibat hukum, untuk menyelenggarakan pemerintahan).
4. Bahwa berdasarkan Pasal 154 ayat (12) yang di maksud “KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara atau putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia mengenai keputusan tentang penetapan pasangan calon peserta Pemilihan sepanjang tidak melewati tahapan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum hari pemungutan suara” yaitu penafsiran menurut saya proses pengajuan gugatan tidak boleh masuk pada saat waktu tersebut, sedangkan dalam hal ini Gugatan dimasukkan sebelum 30 (tiga puluh) hari dilaksanakan pemungutan suara pada tanggal 27 November 2024.
5. Berdasarkan Keputusan PTTUN Medan Nomor nomor Perkara 15/G/PILKADA/2024/PTTUN.MDN, tidak ada aturan hukum manapun yang bisa membatalkan Keputusan tersebut, karena penafsiran dan pengkajian Pasal 154 ayat (12) UU NO. 10 Tahun 2016, wajib Kembali kepada asas-asas hukum tata negara.
6. Menurut pendapat saya, terlalu berani Komisioner KIP Aceh Tamiang tidak mematuhi Keputusan tersebut, karena Keputusan PTTUN-Medan tersebut memiliki kekuatan hukum tetap yang wajib dijalankan oleh setiap warganegara maupun Lembaga pemerintahan.
7. Berdasarkan putusan Nomor nomor Perkara 15/G/PILKADA/2024/PTTUN.MDN, saat ini Kabupaten Aceh Tamiang tidak memiliki Calon Bupati dan Wakil Bupati Aceh Tamiang Periode 2024-2029.
8. Upaya kasasi yang dilakukan oleh KIP Aceh Tamiang secara tersirat KIP Aceh Tamiang mengakui kebenaran putusan Nomor nomor Perkara 15/G/PILKADA/2024/PTTUN.MDN, karena kalau memang putusan itu dianggap keliru dan melanggar Undang-Undang No 10 Tahun 2016, Pasal 154 ayat (12) KIP Aceh Tamiang tidak melakukan Kasasi
9. Maka dengan demikian KIP Aceh Tamiang membantah sendiri pernyataannya yang masih bersikukuh terhadap Pasal 154 ayat (12) tersebut.
10. Saya sebagai pakar Hukum yang membidangi Hukum Tata Negara merasa terharu atas polemik Pilkada Kabupaten Aceh Tamiang yang terkait dengan penafsiran Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan Aceh, saran KPU-RI terhadap KIP Aceh Tamiang, yang tidak menjalankan putusan PTTUN-Medan tersebut, karena atas dasar tersebut saat ini Kabupaten Aceh Tamiang tidak memiliki Calon Bupati dan Wakil Bupati Aceh Tamiang, didasari dengan Keputusan Nomor nomor Perkara 15/G/PILKADA/2024/PTTUN.MDN, tidak ada yang membatalkan secara hukum.
11. Upaya KIP Aceh Tamiang melanjutkan tahapan PILKADA KABUPATEN ACEH TAMIANG, dengan 1 (satu) pasangan calon adalah Batal demi Hukum dan KIP Aceh Tamiang telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum (PMH)
Apakah jika putusan PTTUN Medan Nomor nomor Perkara 15/G/PILKADA/2024/PTTUN.MDN terkait sengketa Pilkada Aceh Tamiang keluar kurang dari 30 hari sebelum hari pemungutan suara, terdapat dalil hukum yang dapat menjadi dasar dalam mempertimbangkan langkah penyelenggara KIP Aceh Tamiang dalam menindaklanjuti putusan tersebut.?
Berikut adalah beberapa dalil hukum tambahan yang relevan :
Pelaksanaan Putusan PTTUN yang Mengikat
Putusan PTTUN pada dasarnya bersifat final dan mengikat, sehingga harus dipatuhi oleh KPU atau penyelenggara Pilkada. Kewajiban ini diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang mengharuskan badan pemerintahan untuk melaksanakan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Artinya, meskipun putusan PTTUN keluar kurang dari 30 hari sebelum pemungutan suara, penyelenggara pemilu tetap memiliki kewajiban hukum untuk melaksanakan putusan tersebut.
Prinsip Kepastian Hukum (Asas Rechtszekerheid) Kepastian hukum adalah prinsip fundamental dalam sistem hukum Indonesia. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Dalam konteks ini, KPU wajib memberikan kepastian hukum kepada para calon dan masyarakat dengan memastikan pelaksanaan putusan PTUN yang final. Kepastian hukum ini juga dicantumkan dalam Pasal 2 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang mengharuskan pejabat negara atau pemerintah menjalankan tugas dengan asas kepastian hukum.
Kekuatan Eksekutorial Putusan PTTUN Pasal 116 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan bahwa putusan PTTUN yang telah berkekuatan hukum tetap memiliki kekuatan eksekutorial, artinya putusan tersebut harus dilaksanakan dan mengikat badan atau pejabat yang terkait.
Ketentuan ini menunjukkan bahwa meskipun ada ketentuan 30 hari dalam UU Pilkada, pelaksanaan putusan PTTUN yang mengikat tetap wajib dipenuhi untuk menghindari pelanggaran asas res judicata, yang menyatakan bahwa keputusan pengadilan harus dianggap benar dan wajib dihormati oleh semua pihak.
Asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori Asas ini menyatakan bahwa ketentuan hukum yang lebih tinggi tingkatannya mengesampingkan ketentuan yang lebih rendah. Dalam hal ini, jika putusan PTTUN telah berkekuatan hukum tetap, maka kedudukannya lebih tinggi daripada ketentuan administratif mengenai batas waktu dalam UU Pilkada.
Oleh karena itu, pelaksanaan putusan PTTUN yang mengikat dapat mengsampingkan batas waktu 30 hari agar penyelenggara Pilkada dapat mematuhi putusan pengadilan.
Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali Asas ini berarti ketentuan khusus mengesampingkan ketentuan umum. UU Nomor 10 Tahun 2016 memang mengatur ketentuan umum bahwa sengketa Pilkada harus selesai 30 hari sebelum pemungutan suara.
Namun, putusan PTUN terkait sengketa calon dalam Pilkada dianggap sebagai keputusan khusus yang dapat mengesampingkan batas waktu administratif, selama masih dalam rangka menjaga kepastian hukum dan keadilan bagi para calon.
Pasal 122A UU No. 10 Tahun 2016 tentang Penundaan Pemungutan Suara
Pasal ini memberi wewenang kepada KPU untuk menunda pemungutan suara jika terdapat kondisi yang mengganggu kelancaran Pilkada. Jika putusan PTTUN dikeluarkan kurang dari 30 hari sebelum pemungutan suara dan berpotensi memengaruhi stabilitas pemilu atau mengubah struktur peserta pemilu, maka KPU berwenang menggunakan pasal ini untuk menunda pemungutan suara demi memastikan pelaksanaan pemilu yang teratur dan terjamin secara hukum.
Bagaimana hukumnya saat ini pihak KIP kabaupten sebagai tergugat dinyatakan kalah 0leh Pengadilan Tinggi TUN berkaitan dengan gugatan calon bupati tentang penetapan calon kepala daerah yang ditetapkan oleh KIP dinyatakan batal dan KIP menyatakan kasasi berarti dari segi waktu juga udah tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 154 ayat 12 Undang-undang No.10 Tahun 2016.
Dalam kasus sengketa pemilihan kepala daerah, jika keputusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) menyatakan batalnya penetapan calon kepala daerah yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) kabupaten, maka KPU sebenarnya wajib mematuhi keputusan pengadilan tersebut, meskipun memiliki hak untuk mengajukan kasasi.
Namun, terdapat batasan waktu dalam proses penyelesaian sengketa pilkada yang diatur dalam Pasal 154 ayat (12) Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Pasal tersebut mengatur bahwa penyelesaian sengketa keputusan KPU mengenai penetapan pasangan calon oleh PT TUN atau Mahkamah Agung harus selesai paling lambat 30 hari sebelum pemungutan suara.
Apabila proses kasasi oleh KPU melewati batas waktu ini, maka keputusan PT TUN yang membatalkan penetapan calon kepala daerah tetap berlaku dan mengikat hingga ada keputusan yang berkekuatan hukum tetap.
Keterlambatan dalam proses kasasi dapat menimbulkan konsekuensi hukum, misalnya apabila hasil pemungutan suara tetap dilaksanakan sesuai penetapan awal KPU, keputusan ini bisa dianggap cacat hukum. KPU harus menimbang implikasi waktu dalam pengajuan kasasi agar tidak melanggar ketentuan yang ada, karena hukum pemilihan mengutamakan kepastian dan ketepatan waktu.
Jadi, dari segi hukum, jika kasasi yang diajukan KPU/KIP Kabupaten sudah melewati batas waktu yang ditentukan, maka keputusan PT TUN dianggap final dan mengikat, dan seharusnya menjadi acuan bagi KPU/KIP. Kabupaten.
Untuk memperkuat pendapat mengenai kewajiban KPU/KIP mematuhi keputusan PTTUN dalam sengketa pilkada dan pembatasan waktu dalam proses penyelesaian sengketa, berikut adalah beberapa dasar hukum dan pendapat ahli yang relevan:
1. Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Pasal 154 ayat (12) menyatakan bahwa penyelesaian sengketa penetapan pasangan calon harus selesai 30 hari sebelum hari pemungutan suara. Batas waktu ini bertujuan untuk memastikan kepastian hukum dan stabilitas proses pemilihan. Keterlambatan dalam penyelesaian sengketa bisa menyebabkan ketidakpastian yang dapat mengganggu tahapan pilkada.
2. Peraturan Mahkamah Agung No. 11 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara yang Berkaitan dengan Pemilihan Kepala Daerah.
Peraturan ini menegaskan bahwa perkara sengketa penetapan calon kepala daerah harus diproses dengan cepat, dengan mengacu pada prinsip kepastian hukum dalam waktu yang ditentukan.
Pasal 7 ayat (2) peraturan ini juga menyatakan bahwa putusan PTTUN bersifat final apabila tidak ada upaya hukum lanjutan atau apabila waktu yang ditentukan sudah terlampaui.
3. Pendapat Ahli Hukum Tata Negara :
Jimly Asshiddiqie, ahli hukum tata negara, menegaskan bahwa dalam konteks pemilihan umum atau pilkada, prinsip kepastian hukum dan tepat waktu sangat penting agar tidak mengganggu hak-hak pemilih dan kandidat. Sengketa yang berlarut-larut atau melebihi batas waktu berpotensi mengurangi legitimasi hasil pemilihan.
Refly Harun, ahli hukum tata negara dan pemilu, juga menyatakan bahwa pelaksanaan pilkada harus berjalan sesuai jadwal tanpa gangguan dari proses sengketa yang berkepanjangan. Jika KPU tidak mengikuti keputusan PTTUN yang sudah berkekuatan hukum tetap, hal tersebut bisa dikategorikan sebagai pelanggaran prinsip kepastian hukum dalam pemilihan.
4. Doktrin dan Prinsip dalam Hukum Administrasi Negara
Prinsip finalitas dalam sengketa pilkada bertujuan agar tidak terjadi ketidakpastian berkepanjangan dalam proses pemilihan. Doktrin dalam hukum administrasi negara menyebutkan bahwa badan atau lembaga administrasi (seperti KPU) harus mematuhi putusan yang sudah bersifat final dan mengikat, terlebih jika batas waktu kasasi sudah terlewati. Hal ini untuk memastikan keputusan administratif yang dihasilkan tidak bertentangan dengan kepentingan publik dan kepastian hukum.
5. Putusan MK No. 97/PUU-XI/2013
Dalam putusan ini, Mahkamah Konstitusi menekankan pentingnya penyelesaian sengketa pemilihan secara cepat dan sesuai dengan prinsip kepastian hukum, karena hasil pemilihan akan berdampak langsung pada stabilitas politik dan pemerintahan daerah. Dalam konteks ini, keterlambatan penyelesaian sengketa (baik karena kasasi atau proses lain) bertentangan dengan prinsip hukum pemilu yang mengutamakan kecepatan dan kepastian.
Dengan demikian, dasar hukum dan pandangan dari ahli hukum di atas memperkuat bahwa keputusan PTTUN yang menyatakan pembatalan penetapan calon kepala daerah harus segera dipatuhi KPU/KIP Kabupaten jika proses kasasi melebihi batas waktu yang ditentukan.
Demikian pendapat hukum ini kami buat dengan sebenarnya untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.