BANDA ACEH – Pameran PKA ke-8 yang berlangsung sejak 4 hingga 12 November 2023 di Banda Aceh, kabupaten Pidie Jaya memamerkan sejumlah barang berharga, seperti baju Teungku Malem Dagang yang telah berusia ratusan tahun lamanya sejak jaman kesultanan Sultan Iskandar Muda, jauh sebelum Indonesia merdeka.
Putri, salah seorang panitia anjungan kabupaten Pidie jaya menjelaskan bahwa, pakaian tersebut milik Teungku Malem Dagang yang sering digunakan untuk berdakwah semasa hidupnya.
“Baju ini ketiganya milik Teungku Malem Dagang yang sering beliau gunakan saat berdakwa, dan pakaian ini disimpan dengan baik sejak dulu, hingga sekarang masih utuh meskipun beberapa ada yang sobek dikit,” terang Putri, Rabu (8/11/2023).
Teungku Malem Dagang, putra Negeri Meureudu, diangkat oleh Sultan Iskandar Muda sebagai panglima perang besar untuk menyerang Semenanjung Malaka. Bersamanya, Teungku Japakeh dari Meureudu diangkat sebagai penasehat perang.
Keduanya merupakan sosok ulama besar yang memiliki kecerdasan dan kealiman yang luar biasa. Pengangkatan Teungku Japakeh sebagai penasehat perang merupakan permintaan dari Malem Dagang kepada Sultan Iskandar Musta. Malem Dagang wafat pada tahun 1630 setelah mendapatkan pengakuan dari Sultan Iskandar Muda.
Teungku Japakeh, berasal dari Khoja Faqih di Turki, namun dikenal oleh orang-orang di Mereudu dengan nama singkat disertai dengan nama daerah asalnya. Jalaluddin dipanggil ‘Ja’ dan oleh orang Aceh disebut “Pakeh”, sehingga Teungku Jalaluddin Faqih dikenal sebagai Teungku Japakeh, bermakna Teungku Jalahuddin dari Faqih.
Saat Kerajaan Aceh dipimpin oleh Sultan Iskandar (1607-1636), Teungku Japakeh diangkat sebagai penasehat militer saat Aceh menyerang Portugis di Semenanjung Malaka tahun 1620. Ia juga dikenal sebagai pendiri pusat pendidikan militer Kerajaan Aceh di kawasan Raweu, Meureudu. Para mualim yang melatih tentara kerajaan di pusat pendidikan militer itu berasal dari Turki Khalifah Utsmaniyyah. Teungku Japakeh wafat pada tahun 1650.
Tak hanya itu, pameran juga menampilkan Mundam, sebuah artefak kuningan dari abad ke-18 yang memiliki nilai budaya tinggi bagi masyarakat Aceh. Fungsinya sebagai wadah penyimpanan air atau ramuan obat, serta menjadi simbol bagi perayaan pernikahan, menjadikan Mundam sebagai saksi bisu sejarah dan tradisi yang terus dilestarikan hingga saat ini.
Sementara itu, set peralatan bersirih yang dipamerkan menyoroti tradisi penting dalam budaya Aceh. Bersirih menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat, dan alat-alat yang digunakan sebagai bagian dari ritual ini mengungkapkan kekayaan budaya yang masih terpelihara dengan baik di Pidie Jaya.
Dalam konteks ini, penting bagi kita untuk memahami bahwa pameran barang bersejarah ini bukan hanya tentang menunjukkan warisan masa lalu, tetapi juga sebuah upaya untuk meresapi dan meneruskan nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung di dalamnya. Kehadiran barang-barang bersejarah ini menjadi tautan penting antara masa lalu yang kaya dan keberlanjutan kearifan budaya bagi masa depan yang lebih baik.
Melalui kesempatan ini, generasi muda di Pidie Jaya dan sekitarnya diharapkan dapat mengambil pelajaran berharga dari warisan tersebut. Penghargaan terhadap sejarah dan budaya adalah pondasi yang penting dalam membentuk identitas yang kuat serta mempertahankan keunikan dan keberagaman budaya Aceh.
Pameran yang berlangsung selama seminggu di Kabupaten Pidie Jaya tidak hanya menampilkan artefak bersejarah, namun juga menjadi panggung bagi kekayaan warisan tradisional Aceh yang terjaga hingga saat ini. Hadirnya Mundam, sebuah wadah kuningan dari abad ke-18, memberikan gambaran mendalam akan kehidupan sehari-hari masyarakat masa lalu. Benda ini bukan sekadar benda antik, melainkan cerminan dari perjalanan panjang peradaban Aceh yang telah bertahan dan terus diwariskan dari generasi ke generasi.
Pameran ini juga memperlihatkan kepentingan peralatan bersirih dalam budaya sehari-hari masyarakat Aceh. Ritual bersirih bukan sekadar tradisi, melainkan sebuah ungkapan identitas yang dalam bagi masyarakat setempat. Alat-alat yang digunakan dalam prosesi ini tidak hanya menyimpan nilai praktis, tetapi juga mewakili nilai-nilai kebersamaan, kehormatan, dan penghormatan terhadap leluhur yang merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial masyarakat Aceh.
Lebih dari sekadar benda-benda bersejarah, pameran ini adalah perayaan akan kehidupan, kecerdasan, dan kearifan lokal. Mempelajari artefak-artefak ini berarti menyelami esensi kehidupan masyarakat Aceh pada masa lampau, memahami nilai-nilai yang mereka junjung tinggi, serta merenungkan pesan yang dapat diambil untuk masa depan.
Melalui pengamatan akan benda-benda bersejarah ini, penting bagi kita untuk mengapresiasi perjalanan panjang Aceh dalam menyimpan dan menghargai tradisi, sekaligus menjaga keragaman budaya yang kaya. Hal ini tidak hanya tentang merawat benda-benda fisik semata, melainkan juga tentang menjaga inti dan esensi dari nilai-nilai kemanusiaan, kearifan lokal, dan kebersamaan yang menjadi dasar kekuatan bangsa.
Diharapkan, pameran ini menjadi titik awal bagi dialog lintas generasi, menghubungkan masa lalu yang kaya dengan masa depan yang lebih cerah. Peran penting generasi muda dalam meneruskan dan memelihara warisan ini tidak boleh diabaikan, karena dari merekalah keberlanjutan tradisi dan kearifan lokal ini akan terus berlangsung.