TANGGAMUS – Ketika transparansi menjadi syarat utama dalam pengelolaan keuangan publik, justru yang tampak dari Kecamatan Pugung adalah tirai-tirai kerahasiaan. Sejumlah anggaran yang termuat dalam dokumen Rencana Umum Pengadaan (RUP) 2024 menimbulkan tanya: sejauh mana logika publik dihormati, dan seberapa jauh integritas anggaran ini diuji?
Ketua LSM LAPAKK Lampung, Nova Hendra, menyampaikan kritik tajam terhadap beberapa komponen anggaran Kecamatan Pugung yang dinilainya mengandung potensi ketidaksesuaian. Penelusuran melalui platform SiRUP LKPP menunjukkan pos-pos belanja yang layak ditinjau kembali, bukan hanya dari sisi nominal, tetapi juga dari argumen rasional penyusunannya.
“Kami menyoal bukan sekadar besar kecilnya angka, tetapi soal akal sehat dalam menyusun sebuah perencanaan publik. Setiap rupiah yang dianggarkan mestinya bisa dipertanggungjawabkan secara terbuka, bukan sekadar formalitas administratif,” ujarnya kepada wartawan, Kamis (24/7/2025).
Salah satu anggaran yang menyita perhatian adalah belanja jasa tenaga administrasi senilai Rp119.400.000, yang dikategorikan sebagai kegiatan swakelola. Tanpa informasi yang memadai tentang jumlah tenaga, sistem rekrutmen, serta ruang lingkup pekerjaan, angka ini tampak lebih sebagai konstruksi anggaran daripada cerminan kebutuhan riil.
“Jika tidak ada parameter kualitatif yang dijelaskan, maka ini rentan menjadi anggaran semu. Kita patut bertanya, di mana mekanisme pengawasan internal dalam menyusun angka sebesar ini?” tegas Nova.
Kecurigaan serupa muncul dari belanja bahan bakar dan pelumas sebesar Rp32.608.800. Dalam konteks kecamatan yang relatif memiliki aktivitas terbatas, beban konsumsi BBM sebesar itu terasa janggal jika tidak disertai rincian unit kendaraan dan pola mobilisasi kegiatan yang digunakan sebagai dasar penyusunan.
“Kami tidak anti terhadap anggaran operasional. Tapi mari jujur, apakah kendaraan kecamatan beroperasi intensif setiap hari hingga menyerap anggaran sebesar itu?” katanya lagi.
Tak berhenti di situ, belanja honor untuk Babinsa dan Babinkamtibmas juga menjadi perhatian. Dengan alokasi masing-masing Rp15 juta dan Rp30 juta, publik berhak tahu: apakah ini sekadar insentif normatif atau menyasar pada kegiatan pengamanan tertentu? Dan lebih dari itu, apakah bentuknya sesuai dengan aturan kelembagaan lintas sektor?
“Jangan sampai honor-honor seperti ini menjadi instrumen politis terselubung atau sekadar pengakuan administratif tanpa kontrol. Di sinilah pentingnya keterlibatan BPK dan APIP untuk memberi tafsir akuntabel,” ujar Nova.
Narasi belanja konsumsi pun tak luput dari sorotan. Dengan total mendekati Rp32 juta, belanja makanan dan minuman untuk kegiatan rapat tampak tersebar dalam berbagai sub-item. Namun hingga kini, tidak tersedia dokumentasi publik yang menjelaskan apakah rapat tersebut bersifat berkala, insidental, atau bahkan benar-benar dilaksanakan.
“Kami mendesak transparansi dokumentatif. Apakah ada absensi peserta, notula rapat, atau dokumentasi fisik? Jika tidak, ini hanya sekadar transaksi anggaran atas nama rapat,” pungkasnya.
Media Hariandaerah.com telah mengajukan konfirmasi resmi melalui pesan tertulis kepada Camat Pugung, Ahmad Yani Halim, S.Sos., M.M., namun hingga naskah ini disusun, belum ada tanggapan, apalagi klarifikasi. Diam yang dipertontonkan ini menimbulkan pertanyaan baru, mengapa seorang pejabat publik enggan menjawab ketika dipertanyakan tentang anggaran yang berasal dari uang rakyat?
“Sikap diam Camat Pugung bukan hanya mencederai prinsip keterbukaan informasi, tetapi juga melecehkan martabat pelayanan publik. Kami tidak sedang mencari-cari kesalahan, kami hanya meminta ruang dialog untuk kebenaran anggaran,” tegas Davit Segara, jurnalis Hariandaerah.com yang mengajukan konfirmasi dan mendampingi proses investigasi lapangan.
LSM LAPAKK Lampung secara tegas menyerukan evaluasi terhadap penyusunan dan pelaksanaan anggaran Kecamatan Pugung, serta mendorong keterlibatan inspektorat daerah, auditor independen, dan lembaga pengawasan hukum untuk turun tangan bila diperlukan.
“Ini bukan semata kritik. Ini adalah cermin keprihatinan publik atas praktik anggaran yang tidak berpihak pada akal sehat. Jika ruang klarifikasi terus dibungkam, maka laporan hukum adalah keniscayaan,” tutup Nova Hendra. ( Davit )









