Iklan Diskopukm Aceh
Iklan Diskopukm Aceh

Antara Kekerasan Dan Mendisiplinkan Siswa di Sekolah

Picsart 25 11 05 08 35 25 544
Zulfikar Aliboto Akademisi UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe

Oleh. Prof. Dr. Zulfikar Ali Buto Siregar, S.Pd.I., M.A,Direktur Pascasarjana UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe

Kasus pemukulan yang dilakukan oleh Kepala Sekolah SMAN 1 Cimarga di Lebak, Banten, yang viral dalam sepekan terakhir, telah memunculkan kembali perdebatan publik tentang batas antara tindakan disiplin dan kekerasan dalam dunia pendidikan. Peristiwa ini bermula ketika sang kepala sekolah menampar seorang siswa yang kedapatan merokok di area sekolah. Aksi tersebut kemudian memicu reaksi berantai, ratusan siswa melakukan aksi mogok belajar sebagai bentuk solidaritas, para orang tua ikut bersuara, dan pihak pemerintah daerah pun turun tangan dengan menonaktifkan kepala sekolah untuk sementara waktu sambil melakukan penyelidikan. Kasus ini dengan cepat menjadi bahan diskusi nasional, memunculkan pertanyaan mendasar: apakah tindakan fisik yang dianggap “ringan” dapat dibenarkan atas nama mendidik, atau justru melanggar prinsip kemanusiaan yang menjadi dasar pendidikan itu sendiri.

Dari sisi etika, kekerasan fisik sekecil apa pun sulit untuk dibenarkan dalam konteks pendidikan. Proses mendidik sejatinya berakar pada penghormatan terhadap martabat manusia. Ketika seorang guru menggunakan kekerasan fisik untuk menegakkan disiplin, niat baik tersebut kehilangan makna karena dilakukan dengan cara yang menyinggung kemanusiaan peserta didik. Setiap siswa, terlepas dari kesalahannya, memiliki hak untuk mendapatkan perlakuan yang aman, bermartabat, dan bebas dari kekerasan. Kekerasan fisik tidak hanya melukai tubuh, tetapi juga meninggalkan luka batin berupa rasa takut, malu, atau kehilangan kepercayaan terhadap guru. Dalam etika pendidikan, niat baik tidak pernah cukup untuk membenarkan tindakan yang mencederai pihak lain. Guru, sebagai figur yang dihormati dan berperan penting dalam pembentukan karakter, justru memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga diri agar tidak melampaui batas.

Dari sudut pandang hukum, Indonesia sudah memiliki landasan yang jelas untuk melindungi anak dari segala bentuk kekerasan, termasuk di sekolah. Undang-Undang Perlindungan Anak menegaskan bahwa setiap anak berhak atas perlindungan dari kekerasan fisik maupun psikis. Demikian pula Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan agar pendidikan berlangsung secara demokratis dan manusiawi. Namun, pada praktiknya, banyak kasus kekerasan di sekolah yang tidak ditangani secara serius. Lemahnya penegakan hukum dan masih kuatnya budaya yang menoleransi “kekerasan ringan” sering membuat pelaku luput dari sanksi. Kasus Cimarga menjadi contoh bagaimana perhatian serius baru muncul setelah peristiwa tersebut viral di media sosial, bukan karena sistem pengawasan pendidikan yang berjalan efektif. Fenomena ini menunjukkan perlunya mekanisme pengawasan dan penegakan aturan yang lebih tegas agar kekerasan di sekolah tidak dianggap hal biasa.

BACA JUGA:  Pemerintah Ambil Tindakan Darurat Hadapi Polusi Udara di Jabodetabek

Secara psikologis dan pedagogis, kekerasan fisik terhadap siswa meninggalkan dampak jangka panjang. Tamparan mungkin hanya terasa sekejap, tetapi efek emosional seperti trauma, rasa malu, dan ketakutan dapat bertahan lama. Siswa yang menjadi korban biasanya kehilangan rasa aman, enggan berinteraksi dengan guru, dan mengalami penurunan motivasi belajar. Akibatnya, hubungan guru dan siswa menjadi renggang. Pendidikan kehilangan esensinya sebagai proses yang membangun kesadaran dan karakter. Kekerasan hanya menciptakan keta semu siswa patuh karena takut, bukan karena memahami nilai disiplin yang sejati. Padahal, pendidikan yang baik seharusnya menanamkan kesadaran, bukan ketakutan.

Masalah ini juga tidak terlepas dari paradigma lama yang masih melekat di dunia pendidikan Indonesia, di mana guru dianggap sebagai figur otoritatif yang tidak boleh dibantah. Dalam sistem semacam ini, kekerasan sering dipandang sebagai cara sah untuk mendisiplinkan siswa. Pandangan tersebut mungkin dianggap relevan di masa lalu, ketika nilai-nilai hierarkis dan ketaatan tanpa pertanyaan masih dijunjung tinggi. Namun, di era modern yang lebih demokratis dan terbuka, pendekatan seperti ini sudah tidak sesuai. Pendidikan saat ini menuntut pola hubungan yang setara antara guru dan siswa. Guru berperan sebagai fasilitator, pembimbing, dan teladan moral, bukan penguasa kelas. Ketegasan tetap dibutuhkan, tetapi bentuknya harus berupa keteladanan, komunikasi efektif, dan pendekatan psikologis, bukan kekerasan.

Perubahan paradigma ini memang tidak mudah dijalankan. Banyak guru yang tumbuh dalam sistem pendidikan lama belum terbiasa dengan pendekatan yang lebih empatik. Selain itu, tidak semua lembaga pendidikan memberikan pelatihan memadai dalam manajemen kelas yang bebas kekerasan. Akibatnya, ketika menghadapi perilaku siswa yang dianggap melanggar, sebagian guru masih memilih jalan pintas dengan menegur secara fisik. Ini bukan semata kesalahan individu, tetapi cerminan dari sistem pendidikan yang belum sepenuhnya mendukung perubahan budaya. Oleh karena itu, pemerintah dan dinas pendidikan perlu memberikan pelatihan berkelanjutan tentang komunikasi asertif, pengendalian emosi, serta metode disiplin yang konstruktif bagi guru dan tenaga pendidik.

BACA JUGA:  Berikut Daftar Harga BBM Per 3 September 2022 Seluruh Wilayah di Indonesia

Viralnya kasus Cimarga juga menunjukkan peran besar media sosial dalam membentuk opini publik. Di satu sisi, media berfungsi sebagai alat kontrol sosial yang menekan pemerintah dan sekolah untuk bertindak cepat. Namun di sisi lain, viralitas sering kali membuat peristiwa disederhanakan menjadi konflik hitam-putih: guru sebagai pelaku dan siswa sebagai korban. Padahal, persoalan pendidikan jauh lebih kompleks daripada sekadar siapa yang salah dan siapa yang benar. Media dan masyarakat seharusnya tidak hanya menjadi hakim di ruang digital, tetapi juga berperan dalam mencari solusi konstruktif. Kritik yang membangun, pemberitaan yang berimbang, dan dukungan terhadap transformasi pendidikan yang lebih manusiawi jauh lebih dibutuhkan daripada sekadar mengecam.

Secara keseluruhan, kasus ini harus dijadikan momentum refleksi nasional tentang arah pendidikan Indonesia. Kekerasan, sekecil apa pun bentuknya, tidak seharusnya menjadi bagian dari proses belajar-mengajar. Sekolah mesti menjadi tempat yang aman bagi siswa untuk tumbuh dan berkembang, sekaligus lingkungan yang mendukung guru untuk belajar dan mengembangkan kemampuan pedagogisnya. Pendidikan yang baik tidak diukur dari ketakutan siswa terhadap guru, tetapi dari sejauh mana guru mampu menumbuhkan rasa hormat, tanggung jawab, dan empati melalui keteladanan. Guru tetaplah sosok yang patut dihormati, tetapi penghormatan sejati tidak lahir dari rasa takut melainkan dari rasa kagum dan kepercayaan. Ketegasan tidak harus diwujudkan dalam bentuk kekerasan, dan disiplin tidak perlu ditegakkan dengan tamparan. Pendidikan yang memanusiakan adalah pendidikan yang menuntun, bukan yang menghukum. Dalam dunia pendidikan yang beradab, tangan guru seharusnya menjadi simbol bimbingan dan kasih sayang, bukan alat untuk melukai.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *