BANDA ACEH – Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Banda Aceh menggelar sidang terkait dugaan korupsi pengadaan bibit ikan kakap dan pakan runcah bagi korban konflik Aceh di Kabupaten Aceh Timur, Jumat (13/12/2024). Agenda sidang kali ini mendengarkan keterangan saksi yang dihadirkan oleh jaksa penuntut umum (JPU).
Penasihat hukum terdakwa Suhendri dan Zulfikar, Kamaruddin, SH., MH., dan Hermanto, SH menyatakan bahwa klien mereka memberikan keterangan secara terbuka terkait prosedur pengajuan program dan sistem penganggaran dana hibah tersebut.
“Hari ini delapan saksi telah memberikan keterangan terkait prosedur pengajuan program. Kami dari tim penasihat hukum yakin prosedur tersebut sudah sesuai aturan, meskipun jaksa mencoba mengonfirmasi ulang. Nantinya, kami akan membuktikan lebih lanjut,” ujar Kamaruddin dalam konferensi pers usai sidang.
Kamaruddin menyoroti sumber dana hibah yang disebut-sebut berasal dari dana Pokok Pikiran (Pokir) anggota DPRA, sebagaimana diungkapkan oleh saksi di persidangan.
“Jika benar dana hibah tersebut bersumber dari Pokir, majelis hakim dapat memanggil anggota DPRA terkait untuk memberikan klarifikasi soal aliran dana ini,” tambah Kamaruddin.
Ia juga mengungkapkan adanya kejanggalan terkait Surat Keputusan (SK) penerima hibah yang diterbitkan Gubernur Aceh pada 22 Desember 2023, sementara Surat Perintah Membayar (SPM) diterbitkan lima hari kemudian, pada 27 Desember 2024.
“Proses ini dilakukan hanya dalam tujuh hari. Apakah mungkin dikerjakan secara sempurna? Jaksa seolah menuntut sesuatu yang ideal, padahal situasi ini perlu dipertimbangkan,” ujarnya.
Kamaruddin juga mempertanyakan status perusahaan rekanan yang terlibat dalam pelaksanaan program ini. Ia menilai aneh bahwa perusahaan-perusahaan tersebut tidak ditetapkan sebagai tersangka, sementara sejumlah pejabat sudah ditahan.
“Ada lima perusahaan yang terlibat dalam pelaksanaan proyek ini, namun hanya Ketua BRA, PPTK, KPA, dan koordinator yang menjadi tersangka. Mengapa perusahaan tidak ditetapkan? Ini menjadi tanda tanya besar,” tegas Kamaruddin.
Menurut informasi, lima perusahaan yang terlibat adalah CV Juang Karya, CV Globalindo Mandiri Jaya, CV Semangat Baru Qaleesa, CV Alam Raya Perkasa, dan CV Meuseuraya. Adapun penerima hibah terdiri dari sembilan kelompok masyarakat, termasuk Kelompok Bintang Timur, Doa Ibu, dan Sobat Nelayan.
Kamaruddin berharap majelis hakim dapat mengungkap seluruh pihak yang terlibat, termasuk anggota DPRA dan pemilik perusahaan. Ia juga menyebutkan bahwa tidak tertutup kemungkinan adanya tersangka baru dalam kasus ini.
Hingga kini, enam orang telah ditetapkan sebagai tersangka, yakni Suhendri (Ketua BRA), Muhammad selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).Mahdi selaku Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK), Zamzami selaku peminjam perusahaan serta Hamdani selaku koordinator penghubung rekanan atau pelaksana kegiatan dan Zulfikar (Wiraswasta). Namun, belum ada kejelasan apakah anggota DPRA atau pemilik perusahaan rekanan telah diperiksa atau akan dijadikan tersangka.
Kasi Penkum Kejati Aceh, Ali Rasab Lubis, menyatakan pihaknya akan mengonfirmasi perkembangan ini kepada jaksa penuntut umum yang menangani kasus tersebut.
Kamaruddin menutup dengan harapan agar kasus ini terungkap secara terang-benderang demi keadilan, baik bagi terdakwa, korban konflik Aceh, maupun masyarakat luas.